The Arrhythmias (Farmakoterapi Aritmia)

What the heck?


Melihat gambar ini, apa yang terlintas dipikiranmu???
Haha jangan bete dulu yaaaaaa~ untuk memahami  mekanisme kerja antiarrhythmia drugs (AAD), diagram ini penting banget looh untuk dipahami! Ini adalah diagram aksi potensial dari sel purkije, kita mungkin akan bahas ini nanti, di lain artikel heheee. 


Aritmia didefinisikan sebagai hilangnya ritme jantung.
Kelainan ritme jantung pada aritmia ini mencakup:
- fibrilasi (detak jantung tidak beraturan)
- takikardia (detak jantung >100 detak/menit)
- bradikardia (detak jantung <60 detak/menit)

Aritmia lebih lanjut digolongkan menjadi:
  1. Supraventricular Arrhythmia > terjadi pada atria
    1) Atrial fibrillation (AF) & Atrial flutter
    2) Paroxymal supraventricular tachycardia (PSVT)
    3) Automatic atrial tachycardias
    4) etc > aritmia supraventrikular lainnya yang sering terjadi, namun tidak membutuhkan terapi obat:
      • Premature atrial complexes
      • Wandering atrial pace maker
      • Sinus arrhythmia
      • Sinus tachycardia
  2. Ventricular Arrhythmia > terjadi pada ventrikel
    1) Premature ventricular complexes
    2) Ventricular Tachycardia
    3) Ventricular Proarryhthmia
    4)Ventricular Fibrillation
  3. Bradyarrhythmia
Selanjtunya kita akan membahas beberapa dari jenis aritmia diatas berikut dengan terapinya, yeeaay! 

Empat Golongan AADs
(Sumber: Pharmacotherapy Handbook)


Atrial Fibrillation & Atrial Flutter

Atrial Fibrillation (AF)
  • ciri: detak sangat cepat (400-600 detak atrial/menit) dan tidak beraturan
  • menyebabkan aktivasi ventrikel juga tidak beraturan ~ denyut ventrikel tidak beraturan (120-180 detak/menit)
Atrial Flutter
  • ciri: detak cepat (270-330 detak atrial/menit) dan dirregulary irregular beats (artinya benar-benar tidak berpola)
  • lebih jarang terjadi dibanding AF
  • faktor pencetus, konsekuensi dan terapi serupa dengan AF
Presentasi Klinik
AF maupun atrial flutter memiliki presentasi klinik yang serupa dengan simptom terkait takikardia supraventrikular, mencakup:
  • tidak ada simptom hingga terjadi palpitasi dan atau denyut yang tidak beraturan
  • rasa pusing; atau terjadinya syncop (namun jarang terjadi pada AF)
  • gejala heart failure (HF)
  • nyeri dada seperti angina
  • memasak
Komplikasi AF: arterial embolization yang dapat menyebabkan>> embolic stroke. 

Outcome terapi AF atau atrial flutter:
  1. mengembalikan ritme sinus
  2. mencegah komplikasi tromboembolic 
  3. mencegah mencegah kekambuhan 

Pemilihan terapi berdasarkan onset dan keparahan yang diderita.

Algoritma AF dan Atrial Flutter
(Sumber: Pharmacotherapy Handbook)

  1. Simptom parah + oneset baru > DCC (direct-current cardioversion)
    • untuk mengembalikan segera ritme sinus
  2. Simptom minimal atau sedang + kondisi pasien stabil secara hemodinamik
    • Fokus terapi: mengontrol laju ventrikel (↓ laju ventrikel)
    • Pemilihan terapi:
      1. Pasien dengan fungsi LV normal (fraksi ejeksi ≥ 40%)
        • IV β-blockers (propranolol, metoprolol, esmolol), diltiazem atau verapamil
        • jika faktor penyebab karena adanya high adrenergic states (seperti: congestive heart failure) → first-line therapy: β-blockers
      2. Pasien dengan gangguan fungsi LV (fraksi ejeksi ≤ 40%)
        • IV diltiazem atau verapamil Ø (tidak boleh)
        • IV β-blockers [!] (hati-hati)
        • jika terdapat simptom HF → first-line therapy: IV digoxin atau amiodarone
        • jika terdapat kontraindikasi pada β -blockers, non DHP CCB dan digoxin → IV amiodaron
    • Evaluasi
      setelah pengobatan dengan AV nodal blocking agents dan dicapai ↓ respon ventrikel, selanjutnya → evaluasi, apakah ada kemungkinan bisa dilakukan pengembalian ritme sinus? (jika AF persisten)
      1) Jika hanya atrial flutter → dapat dipertimbangkan utk dilakukan ablasi
      2) Ya, dilakukan kontrol ritme (pengembalian ritme sinus)
        • Mencegah komplikasi tromboembolik
          Pemberian antikoagulan selama cardioversion (karena pengembalian kontraksi atrial meningkatkan risiko tromboembolik) atau dilakukan transesophageal echocardiography/TEE (untuk memastikan tidak ada trombus sehingga tidak perlu diberikan antikoagulan).
          Jika tidak dilakukan TEE dan diberikan antikoagulan:
          1. Pasien dengan AF >48 jam atau durasi tidak diketahui → warfarin (INR 2-3) 3 minggu sebelum cardioversion dan dilanjutkan 4 minggu setelah cardioversion efektif dan ritme sinus normal kembali.
          2. Pasien dengan AF <48 jam → Ø (tidak butuh) warfarin, gunakan IV unfractionated heparin atau low-molecular-weight heparin (SC) sebelum cardioversion
        • Memilih metode pengembalian ritme sinus
          1. DCC
            + cepat
            + sering berhasil
            + risiko komplikasi serius (seperti sinus arrest or ventricular arrhythmias) kecil
            - membutuhkan sedasi atau anestesi
          2. Pharmacologic cardioversion 
            + dapat mengetahui obat yang efektif jika setelah cardioversion dibutuhkan terapi jangka panjang
            - dapat menimbulkan efek samping: drug-induced TdP
            - berpotensi adanya interaksi obat
            - laju cardioversion lebih rendah dibandingkan DCC
            Obat yang dapat digunakan:
            a) Kelas III AAD (ibutilide, dofetilide)
            b) Kelas Ic (flecainide, propafenone)
            c) Amiodarone (oral atau IV)
        • Apakah dibutuhkan AADs?
          1. Isolated episode → Ø (tidak butuh) AADs
          2. Recurrent episode → AADs: boleh ya boleh tidak
            √ AADs: khususnya jika pasien tetap mengalami simptom meskipun telah mendapatkan terapi kontrol laju ventrikel yang adekuat
            Ø AADs: AF pasien dibiarkan tidak diobati, namun tetap mendapatkan terapi kontrol laju dan antikoagulan
        • Penggunaan antitrombotik jangka panjang
      3) Tidak, hanya kontrol laju saja (AF tidak diobati)

        • perlu + juga antitrombotik jangka panjang
        • jika simptom masih ada setelah terapi kontrol laju ventrikel yang adekuat → dapat dipertimbangkan + AADs
    • Panduan terapi antitrombotik jangka panjang
      terapi dilakukan berdasarkan risiko pasien:
      1. Risiko tinggi stroke → warfarin (INR 2,5; range 2-3)
        Faktor risiko tinggi, mencakup:
        - umur >75 tahun
        - diagnosis: rheumatic mitral valve disease; previous ischemic stroke, transient ischemic attack (TIA), or other systemic embolic event; moderate or severe LV systolic dysfunction and/or congestive HF; hypertension; or prosthetic heart valve
      2. Risiko sedang → warfarin (INR 2,5; range 2-3) atau aspirin 325 mg/hari
        Faktor risiko sedang, mencakup:
        - umur 65-75 tahun
        - tidak ada faktor risiko tinggi
      3. Risiko rendah → aspirin 325 mg/hari
        Faktor risiko rendah, mencakup:
        - umur < 65
        - tidak ada faktor risiko tinggi
    • AADs jangka panjang
      1. quinidine
        + terbukti mampu menjaga ritme sinus pada apasien AF
        - namun 50% pasien mengalami kekambuhan dalam waktu 1 tahun
        - ↑ mortalitas, diduga karena adanya efek proaritmia
      2. Kelas Ic (contoh: flecainide, propafenone) dan kelas III (contoh: amiodarone, sotalol, dofetilide)
        + terapi alternatif quinidin
        - juga berkaitan dengan terjadinya proaritmia
    • Kesimpulan
      Dengan demikian, penggunaan AADs jangka panjang sebaiknya diberikan untuk pasien dengan kekambuhan paroxymal AF dimana pasien mengalamai simptom yang tidak dapat ditoleransi selama terjadinya serangan AF.

Paroxymal Supraventricular Tachycardia

Pemilihan terapi farmakologi dan metode non farmakologi dilakukan berdasarkan keparahan simptom. 
  1. Simptom berat (severe) → Synchronized DCC contoh simptom yang berat: syncope, near syncope, anginal chest pain, severe HF
  2. Simptom ringan-sedang → prosedur untuk meningkatkan vagal tone pada AV node (contoh: unilateral carotid sinus massage, Valsalva maneuver)
    Jika gagal → terapi obat
Pemilihan terapi obat
Dilakukan berdasarkan komplek QRS complex.

Algoritma PSVT
(Sumber: Pharmacotherapy Handbook)


Obat dibagi menjadi 3 kategori
1) obat yang ↑ vagal tone ke AV node secara langsung ataupun tidak langsung (contoh: digoxin);
2) obat yang mendepresi konduksi melalui calcium-dependent tissue (contoh: adenosine, β-blockers, calcium channel blockers); and 
3) obat yang mendepresi konduksi melalui sodium-dependent tissue (contoh: quinidine, procainamide, disopyramide, flecainide).


Pada pasien dengan wide QRS complexes yang sebenarnya memiliki VT bukan PSVT
First choice  → Adenosine
(+) durasi aksi singkat, tidak akan menyebabkan prolonged hemodynamic compromise

Setelah PSVT akut ditangani dipertimbangkan, apakah terapi preventif jangka panjang (AADs) dibutuhkan?
  1. √ jika serangan (episodes) sering terjadi atau jika serangan tidak sering tetapi simptomatik (timbul gejala yang berat)
    • Pemilihan AADs dapat dilakukan berdasarkan ambulatory ECG recordings (Holter monitors) atau telephonic transmissions of cardiac rhythm (event monitors) atau teknik electrophysiologic invasif di laboratorium.
  2. Alternatif AADs: dapat dilakukan transcutaneous catheter ablation (menggunakan arus radiofrekuensi)
    (+) sangat efektif, kuratif, jarang menimbulkan komplikasi, menghilangkan kebutuhan akan AADs jangka panjang, dan cost-effective.


to be continued....
___________
untuk sekarang, sampai disini dulu yaaaa, maaf masih belum lengkap :'')
tunggu update selanjutnya yaaa!
Sekiaan~

Ditulis berdasarkan:
Buku Pharmacotherapy Handbook
Wells, BG., JT Dipiro, TL Schwinghammer and CV Dipiro. 2009. Pharmacotherapy Handbook. Seventh Edition. United States: McGraw Hill Medical.

Cek Video tentang aritmia dan farmakoterapi aritmia disini:
https://www.youtube.com/watch?v=2U-_Zse5a-8
https://www.youtube.com/watch?v=hdE412R2JRs

Komentar

  1. artikel yang sangat menarik mengenai gangguan irama jantung (aritmia)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa itu 'Foam Cell'?